Beranda | Artikel
Bertawassul Sesuai Tuntunan Rasul  
Kamis, 9 Oktober 2014

Buletin At Tauhid Edisi 39 Tahun X
tawasul-underwater

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sejatinya do’a adalah senjatanya seorang mukmin. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “(Dan ingatlah tatkala) Rabb kalian berkata, ‘Berdo’alah kepada-Ku, akan Aku kabulkan do’a kalian” (QS. Al Mu’minuun : 60).

Tatkala hendak berdo’a, seorang muslim dituntunkan untuk berhias dengan adab-adab berdo’a agar do’anya mustajab. Diantara adab yang dituntunkan dalam berdo’a adalah dengan bertawassul. Dengan memohon pertolongan Allah, tulisan ringkas ini akan mengupas bagaimana seorang muslim bertawassul sesuai tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Definisi tawassul

Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan suatu wasilah atau amalan yang telah dituntunkan dalam syari’at.

Definisi ini diambil dari firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah, dan carilah wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya” (QS. Al Maa-idah : 35).

Terkait tafsir ayat di atas, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Athaa, dan ulama lainnya mengatakan, maksud ‘Wasilah’ adalah al qurbah, kedekatan dengan Allah. Qatadah mengatakan, “ ‘Carilah wasilah’ artinya adalah : Dekatkan diri kalian kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang Allah ridhai” (Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, 2/68). Tafsiran ini disepakati oleh para ulama sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Katsir.

Dengan demikian, maksud ayat tersebut bukanlah agar kita sembarang bertawassul tanpa melihat aturan syari’at. Karena sebagian orang menfasirkan ‘wasilah’ dengan nabi, orang shalih, atau wali yang menjadi perantara ibadah antara hamba dengan Allah. Tetapi, maksud mencari wasilah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amal shalih.

Tawassul adalah ibadah

Karena tawassul termasuk ibadah, maka agar diterima di sisi Allah, tawassul harus memenuhi dua syarat diterimanya ibadah : (1) ikhlas, (2) dikerjakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Bertawassul sesuai tuntunan

Jika merenungi kandungan Al Qur’an dan hadits Rasulullah, ada beberapa tawassul yang Allah dan Rasul-Nya tuntunkan :

Bertawassul dengan asmaa-ul husnaa (nama-nama Allah)

Dalilnya

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya milik Allah-lah asmaa-ul husnaa. Maka berdo’alah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husnaa” (QS. Al A’raaf : 180)

Contohnya

Jika kita hendak berdo’a, maka kita bisa mengucapkan, “Yaa Ghafur (Dzat Yang Maha Pengampun), ampunilah hamba”, “Yaa Raaziq (Dzat Yang Maha Memberi rizki), berikanlah hamba rizki”, dan seterusnya.

Catatan

Hendaknya nama Allah yang disebut ketika berdo’a memiliki keterkaitan atau bersesuaian dengan isi do’a kita seperti contoh di atas.

                   2.Bertawassul dengan amalan shalih yang pernah dikerjakan

Dalilnya

Allah Ta’ala berfirman mengisahkan do’a orang shalih (yang artinya), “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah dosa-dosa kami dan jagalah kami dari api neraka” (QS. Ali ‘Imran : 16)

Beriman kepada Allah adalah amal shalih, bahkan yang paling utama. Di ayat tersebut, Allah mengajarkan agar menyebutkan amal shalih yang pernah dikerjakan oleh seorang hamba sebelum ia mengungkapkan isi do’anya kepada Allah.

Contohnya

Dalam sebuah hadits, Nabi mengisahkan tiga orang yang terperangkap dalam gua. Salah seorang dari mereka berdo’a, “Ya Allah, saya punya orang tua yang sudah sepuh, juga istri dan anak. Saya biasa memberi minum kedua orang tua saya dengan segelas susu sebelum memberikannya kepada anak saya. Suatu ketika, orang tua saya sudah tertidur. Akhirnya saya pun berdiri menunggu orang tua saya terbangun sampai fajar.

 

Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa perbuatanku tersebut ikhlas mengharap wajah-Mu semata, maka berikanlah kami jalan keluar…” (HR. Bukhari dan Muslim secara ringkas)

Begitu juga dengan dua kawannya yang lain, berdo’a kepada Allah dengan menyebutkan amal shalih yang pernah mereka kerjakan. Pada akhirnya Allah mengeluarkan mereka dari gua tersebut.

Bertawassul dengan do’a orang shalih yang masih hidup

Dalilnya

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala mengalami paceklik, beliau mendatangi ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib –paman Rasulullah yang ketika itu masih hidup-. Lalu beliau berkata, “Ya Allah, dahulu tatkala Nabi kami masih hidup, kami bertawassul dengan do’anya, lalu Engkau-pun menurunkan hujan. Dan saat ini kami bertawassul dengan do’a paman Nabi kami, maka berikanlah kami hujan”

Anas mengatakan, “Akhirnya mereka pun diberikan hujan” (HR. Bukhari)

Pada hadits di atas, disebutkan bahwa ‘Umar meminta agar ‘Abbas –paman Rasulullah yang ketika itu masih hidup- berdo’a kepada Allah agar Allah menurunkan hujan untuk mengakhiri masa paceklik. Hal ini menunjukkan dibolehkannya menitip do’a kepada orang shalih yang masih hidup, supaya ia berdo’a kepada Allah sesuai dengan isi do’a yang diharapkan.

Pelajaran penting

Terdapat pelajaran penting dalam hadits di atas :

Dibolehkannya bertawassul dengan do’a orang shalih yang masih hidup

Tidak dibenarkannya bertawassul dengan orang yang sudah wafat meskipun kepada para nabi dan rasul.

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, jika para shahabat radhiyallahu ‘anhum memiliki kebutuhan, terkadang mereka meminta Rasulullah agar berdo’a kepada Allah untuk kebaikan diri mereka. Namun ketika Rasulullah telah wafat, para shahabat tidak lagi bertawassul kepada beliau. Para shahabat tidaklah mendatangi kubur beliau. Namun para shahabat justru mendatangi orang shalih yang derajatnya di bawah Rasulullah. Mengapa?

Jawabannya adalah karena para shahabat memahami bahwa tawassul dengan do’a orang shalih hanya dibenarkan jika orang shalih tersebut masih hidup.

Bertawassul dengan cara menyebutkan keadaan sulit yang sedang menimpa dan menunjukkan betapa butuhnya kita kepada Allah

Hal ini pernah dicontohkan oleh Nabi Ayyub sebagaimana yang Allah kisahkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Ya Allah, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang” (QS. Al Anbiyaa : 83)

Tawassul yang tidak sesuai syari’at

Tawassul dengan cara beribadah atau berdo’a kepada selain Allah

Tawassul model ini adalah tawassul orang musyrik zaman dahulu. Mereka beribadah atau berdo’a kepada makhluk dengan harapan makhluk tersebut dapat membuat mereka dekat dengan Allah.

Allah menegaskan perbuatan ini dengan kesyirikan dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (QS. Az Zumar : 3)

Meminta orang yang telah wafat agar berdo’a kepada Allah

Tawassul yang seperti ini tidak ada dasarnya. Ditambah lagi, perbuatan semacam ini minimal bisa menjadi perantara menuju kesyirikan. Setiap perantara terjadinya hal yang terlarang, hukumnya juga terlarang.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu” (QS. Faathir : 13-14)

Tawassul dengan sosok atau kedudukan individu tertentu

Contohnya, seseorang berdo’a kepada Allah, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan zat Nabi-Mu, berikanlah aku rizki”

Atau seseorang berdo’a kepada Allah, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kedudukan mulia yang dimiliki Nabi-Mu, berikanlah aku rizki”

Tawassul di atas tidak dituntunkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya tawassul dengan model tersebut.

Padahal tawassul adalah bagian dari ibadah, sedangkan Nabi bersabda, “Siapa yang mengamalkan suatu ibadah tanpa ada tuntunannya dari kami, amalnya tertolak” (HR. Muslim)

Semoga yang ringkas ini bermanfaat. Hanya kepada Allah kita memohon hidayah dan ilmu yang bermanfaat.

Referensi :

Al Masyru’ wal Mamnu’ Minat Tawassul, Dr. ‘Abdussalam bin Barjas

At Tawassul Al Masyru’ wal Mamnu’, Dr. ‘Awwad bin ‘Abdullah

 

Penulis             : Yananto Sulaimansyah

Muroja’ah        : Ustadz Afifi Abdul Wadud


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/bertawassul-sesuai-tuntunan-rasul/